Pemikiran Filsafat Sejarah Formal dan Material Zaman Moderen
( George Wilhelm Friedrich Hegel )
George
Wilhelm Friederick Hegel atau biasa dikenal dengan Hegel lahir di
stuttgart pada tahun 1770 saat era keemasan bangsa jerman. Ketertarikanya
pada penulis- penulis Yunani, plato dan Aristoteles yang membawanya untuk
menekuni teologi di sekolah Tubingen pada usia 18 tahun. Di tempat ini juga ia
menaruh perhatian pada hubungan antara filsafat dan teologi yang menjadi embrio
dari Pemikiran Hegel di kemudian hari.
Pemikiran
Hegel lebih menekankan pada hubungan filsafat sejarah yang mana ia banyak
mengkaji tentang berdialektika terhadap realitas dan memandang adanya ’realitas
mutlak’ atau ruh mutlak atau idealisme mutlak dalam kehidupan. Sehingga sangat
mempengaruhi dalam memandang sejarah secara global.hal ini terbukti saat
dialektikanya mampu memasukkan pertentangan didalam sejarah sehingga dapat
mengalahkan dalil-dalil yang bersifat statis.
Hegel
dikenal sebagai filsuf yang menggunakan dialektika sebagai metode berfilsafat.
Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan,
atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan
sintesis (kesatuan kontradiksi). Pengiyaan harus berupa konsep pengertian yang
empris indrawi. Pengertian yang terkandung di dalamnya berasal dari kata-kata
sehari-hari, spontan, bukan reflektif, sehingga terkesan abstrak, umum, statis,
dan konseptual.
Filsafat
Hegel dikenal sebagai salah satu Filsafat yang sulit dipahami dan di mengerti
karena Hegel menggunakan Istilah-istilah yang terlalu teknis dan terkesan
ekstrem. Disamping itu, Hegel senang mengunakan hal-hal yang paradoks. Hegel
yakin bahwa paradoks adalah hukum realitas, sebagaimana hukum pemikiran.
Ambisi Hegel adalah menyusun suatu sistem filsafat sintesis. Kalau Aristoteles
boleh disebut sebagai filusuf yang berhasil menyintesiskan pemikiran-pemikiran
Yunani dan Thomas Aqinas melalui Summa Teologica nya yang berhasil menyatukan
pengetahuan abad pertengahan, maka Hegel berusaha pula menyatukan Ilmu dan
Filsafat abad XIX.
Menurut Hegel, sejarah adalah perkembangan Roh dalam waktu,
sedangkan alam adalah perkembangan ide dalam ruang. Jika kita memahami kalimat
di atas, tentu kita akan memahami filsafat sejarah Hegel. Sistem menyeluruh
Hegel dibangun diatas tiga unsur utama (the great triad): Ide- Alam- Roh. Ide
dalam dirinya sendiri adalah sesuatu yang terus berkembang, dinamika realitas
dari dan yang berdiri dibalik layar- atau sebelum-dunia. Antitesis dari ide
yang berada di luar dirinya, yaitu Ruang, adalah Alam. Alam terus berkembang,
setelah mengalami taraf perkembangan kehidupan mineral dan tumbuhan kedalam
diri manusia. Dan dalam diri manusia terdapat kesadaran yang membuat ide
menjadi sadar akan dirinya sendiri. Kesadaran diri ini oleh Hegel disebut Roh,
sedangkan antitesis ide dan Alam dan perkembangan dari kesadaran ini adalah
sejarah. Seluruh proses dunia adalah suatu perkembangan roh. Sesuai dengan
hukum dialektika roh meningkatkan diri tahap demi tahap kepada yang mutlak.
Sesuai dengan perkembangan roh ini, maka filsafat Hegel disusun dalam tiga
tahap yaitu:
a) Tahap ketika Roh berada dalam
keadaan “ada dalam dirinya sendiri”.
b) Tahap ketika roh berada dalam keadaan
“berada dengan dirinya sendiri”, berada dengan “yang lain”. roh disini keluar
dari dirinya sendiri yang menjadikan dirinya “di luar” dirinya dalam bentuk
alam, yang terikat oleh ruang dan waktu.
c) Tahap ketika roh kembali kepada
dirinya sendiri, yakni kembali dan berada diluar dirinya sehingga roh berada
dalam keadaan “dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”.
Hegel membedakan tiga macam
penulisan sejarah yaitu
1) Penulisan sejarah orisinal
2) Penulisan sejarah reflektif
3) Sejarah filsafati
Pembagian ini, secara kasar, paralel dengan pembedaan antara
roh objektif, subjektif, dan mutlak. Dalam hal penulisan sejarah orisinal,
hendaknya kita ingat akan laporan-laporan saksi-saksi mata yang dapat diberikan
seorang sezaman mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zamannya
sendiri, seperti misalnya karangan anak agung Gde Agung mengenai perjanjian
renville. Di sini, masa silam seolah-olah berbicara sendiri; di sini, budi yang
hadir di dalam hal ikhwal (budi Obyektif) angakat bicara. Akan tetapi, budi hanya
berbicara dan belum mulai berefleksi mengenai dirinya sendiri. Ini baru terjadi
dalam penulisan sejarah reflektif yang ambil jarak terhadap masa silam,
sehingga menciptakan ruang bagi suatu penilaian oleh subyek yang tahu (roh
subyektif ).
Berhubung Budi itu menurut bentuk penampilan obyektif mewujudkan sejarah- Hegel
akan menulis bahwa Budi menguasai dunia- maka hanya sejarah filsafati dapat
memperoleh suatu pengertian definitif mengenai sifat sejarah. Dalam sejarah
filsafati, Budi mengenal kembali dirinya sendiri dalam bentuk yang dihasilkan
oleh penampilan diri lewat proses sejarah. Dalam filsafat sejarah Budi mengenal
kembali dirinya sendiri. Mengenai masa mendatang Hegel membatasi diri pada
pernyataan yang sangat umum, bahwa pada masa mendatang, roh mutlak akan jaya.
Ia menolak membuat ramalan-ramalan konkret mengenai masa yang akan datang.
Pengertian abstrak bahwa dalam sejarah Budi mencapai pengenalan diri,
diterjemahkan oleh Hegel dengan dengan dua cara, dengan istilah-istilah
historis dan sosial. Pertama-tama, Hegel membela pendapat, bahwa kemerdekaan
sejajar dengan pengertian dan pengetahuan. Bila Hegel berbicara tentang negara,
ia tidak hanya meneropong bentuk pemerintahan sentral seperti dikembangkan oleh
berbagai bangsa pada masa kini maupun masa lampau,melainkan apa yang pada
zamannya dinamakan “Nation” (Volk). Negara, menurut pengertian Hegel, ialah
semua bentuk kehidupan sosial serta kaitan-kaitan antar kesatuan-kesatuan
kultural dan politik. Negara meliputi tradisi-tradisi politik dan rohani ,
moral dan religius seperti dimiliki oleh suatu “Bangsa”.
Pandangan Hegel terhadap kemerdekaan nampaknya tak terduga dan mengejutkan,
tetapi dapat kita terima bila ingat akan pandangan Hegel mengenai sifat
paaradoksal yang terdapat dalam hubungan antara tuan dan abdi. Kesimpulan yang
di tarik oleh Hegel ialah kita tidak dapat membayangkan kemerdekaan sebagai
sesuatu yang hanya dimiliki sang juragan. Andaikata hanya sang juragan merdeka,
maka kemerdekaaan dalam kenyataan tiada lagi. Kemerdekaan hanya terdapat bila
itu dibagi antara juragan dan abdi. Seterusnya ini berarti pula, bahwa
kemerdekaan merupakan sebuah konsep relasional, yang menyangkut hubungan antara
dua orang. Perlu dicatat bahwa pengertian tuan dan juragan serta abdi hendaknya
dimengerti dalm arti yang sangat luas.
Banyak orang merasa sangsi akan kebenaran pendapat Hegel, bahwa Budi menguasai
perkembangan sejarah, seolah akal Budi membimbing sejarah dunia. Bukankah masa
silam sering nampak sebagai suatu proses yang kacau balau, penuh perbuatan yang
tidak masuk akal dan yang penuh pamrih. Keberatan serupa itu oleh Hegel
ditangkis dengan konsepnya mengenai “akalnya Budi”. Pertama-tama kita harus
mengambil langkah prinsipiil, jangan melihat sejarah dalam perspektif
individu-individu yang masing-masing berbuat sesuatu di panggung sejarah,
melainkan dalam perspektif jaringan perbuatan-perbuatan manusia yang
kait-mengait. Bahkan oleh Hegel ditekankan, bahwa unsur “irasional” dalam
perbuatan manusia justru mengabdi kepada kepentingan Budi. Bila dipandang dari
sudut tertentu, maka unsur irasional merupakan keharusan agar Budi dapat
melaksanakan diri.
Hawa napsu manusia perlu, untuk mendorong bahtera sejarah yang kemudinya
dipegang oleh Budi. Bersama-sama, akal budi dan hawa napsu menjalin proses
sejarah bagaikan tenunan yang ada benang langsing dan melintang. “Budi sendiri
merupakan kenyataan, tetapi hawa napsu adalah lengannya guna meraih sesuatu.
“Budi seolah-olah mempergunakan hawa napsu manusia untuk melaksanakan diri.
Budi mempergunakan dan menyalahgunakan manusia untuk mencapai tujuannya
sendiri. Bila tujuan itu sudah tercapai, maka biasanya nasib tokoh-tokoh
sejarah lalu menjadi buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar