Filsafat dan Psikologi
Filsafat bisa menegaskan
akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua
ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga
bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan
perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam
teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari
ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta
pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Bila membaca
teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang konsep jiwa dan manusia.
maka, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang
berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.
Secara khusus, filsafat bisa memberikan kerangka berpikir
yang sistematis, logis, dan rasional bagi para psikolog, baik praktisi maupun
akademisi. Dengan ilmu logika,
yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka
berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu
pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode
pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada
prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para
psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan
rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi
sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.
Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting
bagi perkembangan ilmu psikologi, yakni
etika. Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara,
moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di
dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga
penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan
hak-hak asasi manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan
etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam
bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai
filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis
bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan
ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan
kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi
penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.
Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi
psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich
Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme
sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu
bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang
terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya.
Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu,
seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup.
Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi
pendekatan psikologi eksistensial, atau
yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan
behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang
memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan
berdasarkan pada pengandaian itu. Kajian psikologi eksistensial, sangat
relevan, supaya ilmu psikologi menjadi lebih manusiawi. Ini adalah pendekatan
alternatif bagi psikologi klinis. Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif
pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di
dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger,
Alfred Schultz, dan Jean-Paul Sartre.
Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang mau secara
radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang
telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin
memahami benda sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah
kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek
bisa tampil apa adanya kepada peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan
alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang memang masih dominan di dalam
dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan metode ini, penelitian
psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa
yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas.
Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di
dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan
sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut.
Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi
sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang
lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi
itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis,
dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu
mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan
rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa
tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang
lebih manusiawi.
Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga
bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer.
Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para
filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik,
seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi,
maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa
memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus
sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif.
Filsafat ilmu, sebagai salah satu
cabang filsafat, juga bisa memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu
psikologi. Filsafat
ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang
diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas,
penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal
ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan
ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog
sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang
ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap
sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak,
melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa
menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya,
dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai
satu-satunya sumber kebenaran.
Selanjutnya, filsafat
bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap
ilmu psikologi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang
tadinya belum tersentuh. Teori psikologi tradisional masih percaya,
bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi
tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek.
Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat,
‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah
kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih
tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam
psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih
memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi
budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.
- Psikologi Sebagai bagian dari ilmu filsafat
Pemikiran tentang manusia mau tidak mau ikut terpengaruh,
meskipun demikian psikologi belum siap menjadi ilmu yang empiris karena diskusi
tentang aktivitas manusia belum tuntas : apa yang menjadi obyek studi psikologi
? Oleh karena itu diskusi di masa ini terfokus pada hubungan soul-body dan
bagaimana pengaruhnya dalam aktivitas manusia. Pandangan dua tokoh utama :
Rene Descartes (1596-1650)
ü Descartes menjadi filsuf pertama
yang menekankan kekuatan faktor internal manusia sebagai satu-satunya kekuatan
yang dapat dipercaya, dibandingkan dengan faktor eksternal. Ide-ide spritual,
pemahaman tentang dimensi waktu dan ruang, semua bersumber dari kekuatan
internal, berbeda dari tradisi berpikir filsuf sebelumnya yang menganggap
pemikiran ini berasal dari lingkungan eksternal.
ü Ide tentang soul-body melahirkan Cartesian
dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :
Ø Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah
entity yang berbeda dan terpisah dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia
karena ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada
manusia.
Ø Body : entity fisik pada manusia
yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada
hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.
ü Dengan demikian faktor mind-lah
(kemampuan untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan
menjadikannya makhluk yang secara intelektual lebih unggul.
Hubungan antara mind-body bersifat psychophysical yang
berpusat pada kelenjar pineal. Proses badaniah dipelajari dalam bidang
fisiologis dan aspek mind dipelajari oleh psikologi. Descartes menjadi filsuf
modern pertama yang mendefinisikan obyek studi psikologi sebagai mind.
Gottfried Wilhelm von Leibnitz (1646 – 1716).
ü Berasal dari Jerman. Tradisi
filsafat Jerman sifatnya memandang proses mental secara lebih aktif. Body and
soul tidak dipandang sebagai dualism, tetapi lebih dipandang sebagai aspek yang
integratif dari aktivitas manusia. Mind memiliki unsur inherent yang dinamis,
yang memungkinkannya berperan aktif terhadap lingkungan.
ü Pandangan yang lebih aktif ini tidak
lepas dari konteks politis Jerman pada masa itu yang lebih bergejolak
dibandingkan Inggris, dimana masih terjadi konflik antar agama yang disertai
juga dengan konflik regional (Perang 30 tahun).
ü Leibnitz : “ Nothing is in the
intellect that has not been in the senses, except the intellect itself”.
Mind memiliki prinsip dan kategorinnya sendiri yang sifatnya innate dan
esensial untuk pemahaman. Idea sifatnya innate, maka proses berpikir adalah
proses yang terjadi tanpa henti , ada dimensi sadar dan tidak sadarnya.
ü Konsep monad sebagai energi
pendorong pada setiap makhluk. Yang juga akan menentukan keunikan individu.
Pada manusia, monad ini adalah mind.
Usaha Menerangkan Psikologi secara Ilmiah Semu.
Ada masanya juga psikologi dicoba untuk dijelaskan melalui
beberapa ilmu yang berkembang tanpa metode yang betul-betul ilmiah. Ilmu –ilmu
ini dikenal sebagai ilmu semu, seperti phrenologi, phisiognomi, dan mesmerisme.
Gejala yang sampai sekarang terasa pada munculnya ‘parapsikologi’.
Psikologi
sebagai bagian dari ilmu faal muncul pada abad 19 seiring dengan kemajuan ilmu
alam (natural science) . Pada fase ini pemikiran tentang manusia terus
berkembang dan banyak dilakukan eksplorasi fisiologis manusia secara
empiris.Pada fase inilah mulai ada jawaban yang empirik dan ilmiah dari
pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul di masa lalu:
ü Apa itu jiwa (soul)?
ü Bagaimana bentuk konkritnya?
ü Bagaimana mengukurnya?
ü Bagaimana hubungan body-soul ?
Konteks keilmuan pada abad 19 :
- Riset empirik yang banyak dilakukan pada bidang fisiologis mencakup : aktivitas syaraf, sensasi/penginderaan, dan fisiologis otak. Hasil riset pada ketiga bidang ini sangat signifikan membuka wawasan mengenai manusia sehingga memperkuat pandangan para ilmuwan saat itu akan pentingnya strategi empiris yang sistematis dalam setiap bidang keilmuan.
- Bagi psikologi hasil-hasil ini memberi jalan untuk membangun dasar fisiologis bagi operasi-operasi mental. Penting untuk memahami secara logis dan empiris mengenai aktivitas mental itu sendiri
- Menjelaskan posisi ilmu psikologi modern yang dekat dengan bidang kedokteran dan psikiatri.
ü Francis Bacon (1561-1626)
1. Menganjurkan metode induktif sebagai
metode utama dalam science karena berangkat dari hasil observasi terhadap
sesuatu yang nyata. Dengan demikian ia menantang pendapat Aristoteles dan the
Scholastic bahwa metode deduktif – induktif sama kuatnya.
2. Dalam konteks seperti di ataslah
dikatakan bahwa Bacon ‘tidak setuju’ dengan rasionalisme yang spekulatif,
meskipun idenya sendiri juga sangat rasional.
3. Dengan kembali pada fakta yang
nyata, Bacon berharap science dapat terbebas dari prinsip-prinsip yang
spekulatif namun selama ini sangat kuat dipegang
ü Ada 3 pergerakan utama di bidang
science yang mempengaruhi berdirinya psikologi sebagai ilmu mandiri dan
bagaiamana perkembangan disiplin ilmu itu di abad 20.
Kemajuan-kemajuan di bidang
fisiologis, meliputi
riset-riset di bidang aktivitas syaraf, sensasi, dan otak yang memberi dasar
empiris bagi fungsi-fungsi yang sebelumnya dianggap fungsi dari soul (jiwa),
yang juga sebelumnya dianggap sangat abstrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar