Taoisme tentang Politik dan
Masyarakat
Pemikiran
Taoisme Lao Tzu juga bisa diterapkan dalam konteks kehidupan sosial. Masyarakat
ideal Taoisme adalah masyarakat primitif dengan tata kehidupan yang alami,
harmonis, sederhana, dan berjalan tanpa kompetisi ataupun perang.
“Biarlah ada
sebuah negara kecil dengan populasi yang kecil… biarlah orang memberi nilai
tinggi bagi kehidupan mereka dan tidak bermigrasi ke tempat yang jauh… biarlah
mereka makan dengan senang, menikmati pakaian mereka, nyaman dengan rumah
mereka, dan puas dengan budaya mereka”.
Ini adalah
gambaran indah tentang masyarakat yang dicita-citakan oleh Lao Tzu, yakni
masyarakat agraris primitif yang hidup dengan kedamaian, kebahagiaan, dan
kepuasan. Gambaran ini juga sekaligus merupakan kritik terhadap masyarakat
kontemporer. Lao Tzu secara tegas mengutuk para penguasa. “Warga kelaparan”,
demikian tulisnya, “karena para penguasa mengambil terlalu banyak pajak gandum…
warga memandang kematian dengan begitu mudah dan begitu gampang karena penguasa
memelihara kehidupan mereka secara berlebihan”. Di dalam pandangan filsafat
Taoisme, kekuasaan adalah sumber dari segala ketidakberuntungan dan kekacauan.
Filsafat
Taoisme telah mempengaruhi budaya Cina secara mendalam. Akan tetapi, arti
penting Taoisme justru baru bisa dimengerti, jika kita mengontraskan ajaran ini
dengan Konfusianisme. Konfusianisme menekankan bahwa setiap orang haruslah
menerima kewajiban dan tanggung jawab sosial mereka. Bahkan seringkali
dikatakan, bahwa Konfusius adalah orang yang akan melakukan kewajibannya,
walaupun hal itu tampak tidak mungkin untuk dilakukan. Manusia yang ideal
adalah manusia adalah manusia yang rela mengorbankan dirinya untuk melakukan
kewajiban dan tugasnya kepada negara.
Akan tetapi,
tidak semua orang yang bisa hidup dengan cara seperti itu. Manusia membutuhkan
suatu cara untuk mengembangkan dirinya sendiri, walaupun hal itu dilakukan
bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawab sosialnya. Inilah yang ingin
ditawarkan oleh Taoisme. “Taoisme”, demikian tulis Xiaogan, “mengajarkan orang
untuk melihat konflik manusia dari perspektif seluruh alam semesta”. Di dalam
Taoisme, perbedaan antara keberuntungan dan ketidakberuntungan, antara
kemuliaan dan penghinaan, antara kesuksesan dan kegagalan, tidaklah boleh
dipikirkan terlalu serius. Jika dilihat dari sudut pandang keseluruhan alam
semesta, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan di muka bumi ini. Dengan
menjadikan filsafat Tao sebagai panduan hidupnya, orang akan bisa melepaskan
diri dari perjuangan tanpa henti, dan menenangkan dirinya, ketika ia sedang
menderita secara spiritual.
Beberapa ahli
mengkritik sikap semacam ini sebagai suatu bentuk penipuan diri. Misalnya di
masa revolusi kebudayaan Cina, banyak orang mengalami penderitaan berat. Ada
seseorang yang sedang dipenjara. Ia dipenjara selama 10 tahun tanpa alasan yang
jelas. Jika ada seorang Taois di sana, ia akan berkata pada orang yang
dipenjara tersebut, “Memang, kau mengalami kehilangan besar di dalam hidupmu.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan mantan presiden Liu-Shao-ch’i yang mati
karena dipenjara secara ilegal, apa yang kau derita sekarang ini bukanlah
apa-apa.
Cobalah
berpikir betapa beruntungnya dirimu karena kamu masih hidup dan memiliki
keluarga”. Karena selalu masih ada orang yang lebih menderita di dunia ini,
maka penderitaan yang kamu alami sekarang tidaklah berarti. Kesadaran semacam
ini memang memberikan rasa nyaman tersendiri. Filsafat Tao mengajak orang untuk
membuka pikiran dan melebarkan perspektif mereka, sehingga mereka bisa merasa
tenang di dalam penderitaan. Orang yang menghayati filsafat Tao di dalam
hidupnya akan menjalankan hidup yang sehat, walaupun banyak krisis dan
penderitaan yang dihadapi.
Di dalam
seluruh tulisan ini, mengikuti Liu Xiaogan, saya memfokuskan filsafat Tao pada
konsep etikawu-wei. Apa relevansinya bagi kehidupan kita? Xiaogan
memberikan contoh tentang mobil. Setiap mobil pasti memiliki mesin dan rem.
Tidak ada orang yang mau mengendarai mobil yang tidak memiliki rem. Bahkan,
setiap benda bergerak di muka bumi ini selalu membutuhkan semacam rem.
Bagaimana dengan motivasi dan aktivitas sosial manusia, apakah ini juga
membutuhkan semacam rem? Dapatkah orang mengejar apa yang mereka inginkan
secara tanpa batas? Dapatkah suatu gerakan sosial, walaupun memiliki cita-cita
yang sangat luhur, dapat bergerak cepat langsung mewujudkan tujuan mereka?
Jawabannya jelas, tidak! “Motivasi manusia dan gerakan sosial”, demikian
Xiaogan, “juga membutuhkan sesuatu yang bekerja sebagai rem, yang dapat
mengatur dan membatasi tindakan manusia untuk melindungi masyarakat manusia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar