Senin, 07 November 2016

Taoisme tentang Politik dan Masyarakat



Taoisme tentang Politik dan Masyarakat

Pemikiran Taoisme Lao Tzu juga bisa diterapkan dalam konteks kehidupan sosial. Masyarakat ideal Taoisme adalah masyarakat primitif dengan tata kehidupan yang alami, harmonis, sederhana, dan berjalan tanpa kompetisi ataupun perang.
“Biarlah ada sebuah negara kecil dengan populasi yang kecil… biarlah orang memberi nilai tinggi bagi kehidupan mereka dan tidak bermigrasi ke tempat yang jauh… biarlah mereka makan dengan senang, menikmati pakaian mereka, nyaman dengan rumah mereka, dan puas dengan budaya mereka”.
Ini adalah gambaran indah tentang masyarakat yang dicita-citakan oleh Lao Tzu, yakni masyarakat agraris primitif yang hidup dengan kedamaian, kebahagiaan, dan kepuasan. Gambaran ini juga sekaligus merupakan kritik terhadap masyarakat kontemporer. Lao Tzu secara tegas mengutuk para penguasa. “Warga kelaparan”, demikian tulisnya, “karena para penguasa mengambil terlalu banyak pajak gandum… warga memandang kematian dengan begitu mudah dan begitu gampang karena penguasa memelihara kehidupan mereka secara berlebihan”. Di dalam pandangan filsafat Taoisme, kekuasaan adalah sumber dari segala ketidakberuntungan dan kekacauan.
Filsafat Taoisme telah mempengaruhi budaya Cina secara mendalam. Akan tetapi, arti penting Taoisme justru baru bisa dimengerti, jika kita mengontraskan ajaran ini dengan Konfusianisme. Konfusianisme menekankan bahwa setiap orang haruslah menerima kewajiban dan tanggung jawab sosial mereka. Bahkan seringkali dikatakan, bahwa Konfusius adalah orang yang akan melakukan kewajibannya, walaupun hal itu tampak tidak mungkin untuk dilakukan. Manusia yang ideal adalah manusia adalah manusia yang rela mengorbankan dirinya untuk melakukan kewajiban dan tugasnya kepada negara.
Akan tetapi, tidak semua orang yang bisa hidup dengan cara seperti itu. Manusia membutuhkan suatu cara untuk mengembangkan dirinya sendiri, walaupun hal itu dilakukan bertentangan dengan kewajiban dan tanggung jawab sosialnya. Inilah yang ingin ditawarkan oleh Taoisme. “Taoisme”, demikian tulis Xiaogan, “mengajarkan orang untuk melihat konflik manusia dari perspektif seluruh alam semesta”. Di dalam Taoisme, perbedaan antara keberuntungan dan ketidakberuntungan, antara kemuliaan dan penghinaan, antara kesuksesan dan kegagalan, tidaklah boleh dipikirkan terlalu serius. Jika dilihat dari sudut pandang keseluruhan alam semesta, tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan di muka bumi ini. Dengan menjadikan filsafat Tao sebagai panduan hidupnya, orang akan bisa melepaskan diri dari perjuangan tanpa henti, dan menenangkan dirinya, ketika ia sedang menderita secara spiritual.
Beberapa ahli mengkritik sikap semacam ini sebagai suatu bentuk penipuan diri. Misalnya di masa revolusi kebudayaan Cina, banyak orang mengalami penderitaan berat. Ada seseorang yang sedang dipenjara. Ia dipenjara selama 10 tahun tanpa alasan yang jelas. Jika ada seorang Taois di sana, ia akan berkata pada orang yang dipenjara tersebut, “Memang, kau mengalami kehilangan besar di dalam hidupmu. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan mantan presiden Liu-Shao-ch’i yang mati karena dipenjara secara ilegal, apa yang kau derita sekarang ini bukanlah apa-apa.
Cobalah berpikir betapa beruntungnya dirimu karena kamu masih hidup dan memiliki keluarga”. Karena selalu masih ada orang yang lebih menderita di dunia ini, maka penderitaan yang kamu alami sekarang tidaklah berarti. Kesadaran semacam ini memang memberikan rasa nyaman tersendiri. Filsafat Tao mengajak orang untuk membuka pikiran dan melebarkan perspektif mereka, sehingga mereka bisa merasa tenang di dalam penderitaan. Orang yang menghayati filsafat Tao di dalam hidupnya akan menjalankan hidup yang sehat, walaupun banyak krisis dan penderitaan yang dihadapi.
Di dalam seluruh tulisan ini, mengikuti Liu Xiaogan, saya memfokuskan filsafat Tao pada konsep etikawu-wei. Apa relevansinya bagi kehidupan kita? Xiaogan memberikan contoh tentang mobil. Setiap mobil pasti memiliki mesin dan rem. Tidak ada orang yang mau mengendarai mobil yang tidak memiliki rem. Bahkan, setiap benda bergerak di muka bumi ini selalu membutuhkan semacam rem. Bagaimana dengan motivasi dan aktivitas sosial manusia, apakah ini juga membutuhkan semacam rem? Dapatkah orang mengejar apa yang mereka inginkan secara tanpa batas? Dapatkah suatu gerakan sosial, walaupun memiliki cita-cita yang sangat luhur, dapat bergerak cepat langsung mewujudkan tujuan mereka? Jawabannya jelas, tidak! “Motivasi manusia dan gerakan sosial”, demikian Xiaogan, “juga membutuhkan sesuatu yang bekerja sebagai rem, yang dapat mengatur dan membatasi tindakan manusia untuk melindungi masyarakat manusia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar