Filsafat Taoisme
Taoisme
merupakan filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama.
Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat
tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan
benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan
kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme
merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat
lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang
mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk
mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.
Taoisme juga
memperkenalkan teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan
sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif
mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong,
tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif,
kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud negatif,
magnet tidak akan terjadi.
Agama Tao
atau yang lebih mudah kita kenal dengan Taoisme merupakan agama yang berasal dari
Tiongkok. Dari data-data yang ada, maka Agama Tao termasuk agama yang tertua di
dunia ini, umumnya diakui sudah ada sejak 7000 tahun yang silam, dan juga
merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa. Data ini
tertuang dari tulisan Lu Xun seorang budayawan kondang, dimana beliau menulis
bahwa agama Tao adalah agama dan akar utama dari kebudayaan Tionghoa. Tidak
heran bila pada akhirnya, agama Tao sampai saat ini masih menjadi agama yang
banyak dianut oleh masyarakat Tionghoa.
Akar historisnya,
memang harus diakui bahwa di Tiongkok, Taoisme merupakan salah dari apa yang
dinamakan “tiga ajaran” (bersama-sama dengan Buddhisme dan Konfusianisme).
Taoisme mengalami perubahan secara bertahap secara perlahan dan merupakan
penyatuan yang terus menerus antara berbagai macam aliran pemikiran kuno di
Cina. Perpaduan dari berbagai macam aliran pemikiran inilah yang menjadi cikal
bakal munculnya ajaran Taoisme di tengah-tengah masyarakat Tionghoa yang
memiliki kekayaan budaya melimpah.
Kendati demikian,
kita tidak bisa memastikan secara detail bagaimana kelahiran, pertumbuhan dan
perkembangan Taoisme ini dalam mengarungi sejarah peradaban ummat manusia. Kita
juga tidak mengetahui tanggal yang pasti mengenai kelahiran Taoisme, dan
tanda-tanda keberadaan unsur-unsur luar yang diserap tidak pernah lenyap
darinya. Apabila kita memandang unsur-unsur luar yang memperkaya Taoisme (yang
diperoleh melalui inspirasi-inspirasi baru), maka kita akan melihat betapa
terbukanya agama ini. Sebuah agama yang memberikan kebebasan kepada pemeluknya
agar senantiasa memperteguh keimanan dengan jalan menjaga keharmonisan hati dan
pikiran, sehingga bisa diaktualisasikan dalam konteks relasi dengan alam
semesta.
Seiring
dengan waktu, Taoisme terus berkembang dan mulai menampakkan kegigihannya dalam
menciptakan keharmonisan dan kedamaian dunia. Tidak mengherankan, bila Taoisme
disebut sebagai agama yang selalu mengalami perkembangan dan evolusi, sehingga
selain sulit untuk menentukan waktu kelahirannya, juga sulit untuk menentukan
batas-batasnya. Itulah sebabnya, Livia Kohn (1991)[3]
mengatakan bahwa Taoisme tidak pernah merupakan suatu agama yang terpadu, dan
terbentuk dari kombinasi (berbagai) ajaran yang didasarkan atas beraneka macam
sumber asli. Dengan kata lain, Taoisme bukanlah agama yang teraksentuasi pada
satu titik ajaran semata, melainkan merupakan perpaduan dari ajaran-ajaran
sebelumnya yang telah berkembang dan menjadi bagian dari sumber-sumber asli
kebudayaan Cina.
Secara
kebetulan, kita memang tidak tahu pasti kelahiran Taoisme dalam sejarah
peradaban ummmat manusia, namun untuk mengetahui asal muasalnya kita dapat
kembali pada 5000 tahun yang lalu, tatkala sekelompok suku berdiam di tepi
Sungai Kuning (Huang He) di Tiongkok Utara. Suku bangsa ini masih belum
memiliki identitas kebangsaan. Mata pencaharian sehari- hari mereka adalah
berburu, memancing, memelihara ternak, serta bercocok tanam gandum dan
padi-padian.
Pada masa itu
mereka masih harus menaklukkan kekuatan-kekuatan alam, seperti amukan Sungai
Kuning atau hewan-hewan buas yang memangsa ternak mereka. Legenda menyebutkan
mengenai pemimpin-pemimpin mereka (kepala suku) yang memiliki kekuatan gaib
luar biasa, di mana pemimpin-pemimpin tersebut mampu menaklukkan kekuatan gaib
serta banjir Sungai Kuning. Pemimpin itu adalah bernama Yu yang dianggap
memiliki kekuatan luar biasa dalam mengatasi berbagai bencana yang datang
secara tiba-tiba.
Legenda
mengatakan bahwa Yu tidak memiliki ibu dan ia muncul secara langsung dari tubuh
ayahnya yang bernama Kun. Saat itu Kun ditugaskan oleh pemimpin suku bernama
Shun, untuk menanggulangi banjir Sungai Kuning. Ketika gagal Kun dihukum mati
dan mayatnya dibiarkan tergeletak pada sisi gunung. Sementara itu selama tiga
tahun, Yu berada dalam tubuh ayahnya yang sudah meninggal. Ajaibnya, ternyata
Kun dapat hidup kembali dan menjelma menjadi seekor beruang coklat, ia membelah
perutnya sendiri dan mengelurkan putranya, yang bernama Yu.
Legenda-legenda
yang dihubungkan dengan Yu memperlihatkan bahwa ia merupakan seorang shaman.
Mircea Eliade dalam studinya mengenai shamanisme menyebutkan hal-hal berikut,
yang merupakan pengalaman spiritual umum seorang shaman: terbang ke langit,
melakukan tarian untuk mendatangkan kekuatan (seperti yang dilakukan dukun
Indian Amerika serta suku-suku di Afrika), penerimaan pesan- pesan dari para
makhluk suci, kemampuan untuk berbicara dengan hewan, kekuatan atas unsur-unsur
alam, penyembuhan, serta pengetahuan mengenai tanaman obat-obatan.
Berangkat
dari akar kelahiranTaoisme yang menuai perdebatan ini, saya akan mencoba
menelusuri lebih mendalam terkait dengan penggunaan nama Tao sebagai organisasi
keagamaan bagi masyarakat Tionghoa. Di sadari atau tidak, kemunculan Taoisme di
tengah-tengah masyarakat Tionghoa, ternyata telah memberikan perubahan dan
warnai yang berbeda dalam konteks keberagamaan mereka, sehingga misteri
spiritualitas yang mereka anut pun berubah sekita manakala ajaran Taoisme
berkembang pesat dan menjadi bagian dari kegiatan keagamaan bagi masyarakat
secara menyeluruh.
Tidak heran,
bila agama Tao atau Taoisme diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Wang Di), yang
kemudian dikembangkan langsung oleh Lao Zi dan terorganisasi menjadi sebuah
institusi Keagamaan (Agama Tao) yang lengkap oleh Zhang Tao Ling. Pergulatan
pemikiran yang berkembang ketika itu, secara perlahan-lahan bisa mempengaruhi
aktifitas keagamaan masyarakat Tionghoa sendiri. Bila ditelisik secara lebih
seksama, ternyata dibalik kekuatan ajaran Taoisme, mengandung unsur-unsur
keharmonisan dan keselarasan yang mampu menciptakan tatanan sosial yang lebih
mencerahkan. Kekuatan ajaran yang terrefleksi dalam bingkai Taoisme, secara
tidak langsung juga memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku kemanusiaan
masyarakat sehingga nilai substantif yang terkandung di dalamnya membawa
perubahan besar bagi penganutnya.
Perjalan
sejarah yang panjang ini, membuat Taoisme mulai dirilik oleh masyarakat sekitar
sehingga cakrawala pemikiran yang tersirat dari pesan-pesan dasar Taoisme
mengakar kuat dengan perlahan dan menjanjikan. Taoisme selain telah berjasa
dalam menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat di Tiongkok selama beribu-ribu
tahun, ia juga telahmemberikan banyak sumbangan terhadap kemajuan sastra,
budaya, ilmu astronomi, ilmu pengobatan, filsafat dan cara berpikir masyarakat
Tionghoa dimanapun mereka berada.
Pada jaman FU
XI sekitar tahun 5000 SM, FU XI telah menggunakan teori dan perhitungan BA-KUA
(Delapan Penjuru) untuk menjelaskan tentang sistem Astronomi, menentukan
hal-hal yang penting yang berhubungan dengan ramalan kehidupan seseorang, serta
menentukan cara-cara ritual penyembahan Dewa/Dewi.
Sampai pada
jamannya Wang Di (Kaisar Kuning) 2698 SM, mulai dikemukakan teori tentang
kaidah-kaidah alamiah dan teori tentang masalah kehidupan dan kematian. Wang Di
juga merupakan tokoh yang pertama menjalankan pemerintahannya berdasarkan
ajaran Tao. Pada jaman Dinasti Kerajaan Chow, muncul seorang bijaksana yang
mempunyai nama besar yaitu Lao Zi. Beliau pernah bertugas sebagai pejabat yang
menjaga dan merawat perpustakaan buku-buku yang dimiliki kerajaan Chow. Karena
itu,beliau mempunyai kesempatan untuk membaca semua buku-buku dan menguasai
teori-teori yang diajarkan oleh Wang Di.
Ini membuat beliau
sangat menyanjung keagungan alam yang telah menghidupi semua makhluk hidup,
termasuk manusia, namun beliau juga mengajarkan bahwa dibalik semuanya itu
pasti ada yang menciptakannya yang bersifat maha Agung; maha Mulia dan maha
Esa, hanya saja sulit bagi beliau untuk memberikan sebutan atau nama yang tepat
bagi Pencipta Alam Semesta yang maha Besar ini.
Akhirnya
Laozi meminjam kata “Tao”, untuk memberi nama bagi “sumber” dari segala sesuatu
yang tercipta di alam semesta ini. Menurut Lao Zi, Tao adalah sumber
terciptanya segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Cara berpikir
beliau jauh melampaui jamannya ketika itu, ditambah ajaran-ajarannya yang
menjunjung tinggi kebajikan dan menentang kebiadaban, maka akhirnya ajaran Lao
Zi bersama-sama ajaran Wang Di dikenal orang sebagai ajaran Wang-Lao (Wang-Lao
Tao/ Filsafat ajaran Wang Di dan Lao Zi) sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar