Taoisme sebagai Filsafat atau Agama?
Para ahli
filsafat di Cina sekarang ini seringkali membedakan antara Taoisme sebagai
filsafat, dan Taoisme sebagai agama. Taoisme sebagai filsafat disebut juga
sebagai Tao Chia, sementara Taoisme sebagai agama disebut juga sebagai
Tao Chiao. Sebagai sebuah ajaran filsafat, Taoisme bersama dengan
Konfusianisme dan Buddhisme mendominasi kehidupan masyarakat Cina pada abad
ketiga setelah Masehi. Ketiga aliran ini disebut juga sebagai “Ketiga Ajaran” (three
teachings). Di dalam masyarakat Cina kontemporer, Konfusianisme memang
memiliki pengaruh yang masih besar, tetapi tidak pernah menjadi sebuah ajaran
yang memiliki institusi resmi, seperti misalnya yang terdapat di dalam Taoisme.
Sebagai suatu
ajaran filosofis, Taoisme didirikan oleh Lao Tzu pada abad keenam sebelum
Masehi. Ajaran ini terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat
Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam
ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik
dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri
dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang
berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap
pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam
masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak
Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara
Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada
pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada
perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas
tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang
melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada
keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao
sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai
agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of
Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan
langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap
sebagai „dewa“. Ia punya beberapa julukan, seperti “Saint Ancestor Great
Tao Mysterious Primary Emperor“, dan yang memiliki status sebagai “Dewa“ (The
Divine) itu sendiri.
Perbedaan
dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang
tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa
tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu,
mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama
Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai
keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang
dapat dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang.
Pada titik
ini, kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme
berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang
tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao
Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai
hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang benar
pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka
juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga
menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan -sama konstannya dengan
terjadinya malam dan subuh manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya”.
Jelaslah
bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk
memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di
antara keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap
transenden dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, dan senantiasa
mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap
mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan
tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei.
Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya
keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat
Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya
orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional)
dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu
bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai
Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh
lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa
dihapuskan.
Di sisi lain,
para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme.
“Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343),
seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa
dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka sebagai prinsip dasar.” K’ou
Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa
setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu
kaisar di dalam mengatur dunia. Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar
pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat
Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka agama Taoisme dapat
dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan praktis. Dalam arti
ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak berbeda
tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te,
jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar