Filsuf Arthur Schoperhauer Dan Metafisika Kehendak
Arthur Schopenhauer lahir pada 22
Februari 1788 di Danzig Polandia. Keluarga Schopenhauer sangat kental dengan
tradisi Belanda. Ayahnya, Heinrich Floris Schopenhauer (1747 – 1805) adalah
seorang pengusaha sukses yang mengontrol keluarganya dengan gaya bisnis. Nama
Arthur Schopenhauer mencerminkan luasnya jaringan sang ayah dalam perdagangan
internasional, sehingga ia memilihkan nama untuk anak pertamanya itu dengan
kolaborasi kosa kata Jerman, Perancis, dan Inggris. Pada bulan Maret 1793,
ketika Schpenhauer masih berusia 5 tahun, keluarga pindah ke Hamburg, setelah
Danzig diduduki oleh Prussia.
Lahir
di tengah keluarga pengusaha kaya, Schopenhauer sering melakukan kunjungan
wisata ke berbagai negara di Eropa. Pada tahun 1797 – 1799 ia tinggal di
Perancis, dan sebentar tinggal di Inggris di tahun 1803. Kondisi inilah yang
memungkinkan Schopenhauer mempelajari bahasa Negara-negara yang dikunjunginya.
Schopenhauer dalam diarynya mengatakan, tinggal di Perancis adalah pengalaman
paling menyenangkan. Meskipun sejak kecil sang ayah telah mendidiknya dengan
bisnis, dan selama dua tahun ia mengikuti kursus dan magang bisnis di Hamburg,
namun Schopenhauer merasa bisnis bukanlah jalan hidup yang cocok baginya.
Pada
usia 19 tahun, ia memutuskan untuk mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. Schopenhauer pun kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas
Göttingen pada tahun 1809. Pada masa perkuliahannya, dia
belajar tentang metafisika dan psikologi di bawah bimbingan Gottlob Ernst Schulze, penulis buku Aenesidemus, yang mengajurkannya agar berkonsentrasi pada pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pada tahun 1811
sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann
Gottlieb Fichte, seorang filsuf post-Kant terkemuka dan dari
seorang teolog Friedrich
Schleiermacher. 20
April 1805 adalah hari menyedihkan bagi Schopenhauer, karena sang ayah
meninggal dunia, yang diduga kuat akibat
bunuh diri.
Setelah
kematian Floris, Ibu Schopenhauer, Johanna Troisiener Schopenhauer (1766 –
1838), memutuskan untuk pindah bersama anak-anaknya ke Weimar. Johanna adalah
wanita cerdas dan memiliki pergaulan yang luas. Di Weimer ia bersahabat dengan
Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832). Di Weimer, Johanna Schopenhauer aktif
menulis essai, kisah perjalanan, dan novel.
Pada
tahun 1809, Schopenhauer memulai studi di University of Gottingen di bidang
Kedokteran, kemudian mengambil Filsafat. Di Gottingen, dia terpikat dengan
pandangan seorang “skeptical philosopher”, Gottlob Ernst Schulze (1761 – 1833).
Lewat Schulze-lah Schopenhauer mengenal pemikiran Plato dan Immanuel Kant.
Setelah melewati masa studi 2 tahun di Gottingen, Schopenhauer kemudian
mendaftarkan diri di Universitu of Berlin.
Di sana ia diajar oleh Johann Gottlieb Fichte
(1762 – 1814), dan Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Di dua universitas
ini, Schopenhauer mempelajari banyak bidang keilmuan, antara lain: fisika,
psikologi, astronomi, zoology, arkeologi, fisiologi, sejarah, sastra dan syair.
Pada umur 25 tahun ia berhasil menyelesaikan disertasi dengan judul “The
Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason”. Pada tahun 1813, ia
memutuskan pindah ke Rudolstadt, dan pada tahun yang sama ia menyampaikan
disertasinya di University of Jena, kemudian dianugerahi gelar doktor filsafat
in absentia.
Arthur
Schopenhauer adalah filsuf yang aktif menghasilkan karya. Adapun
tulisan-tulisan itu adalah,
o
1813, Über die vierfache Wurzel des
Satzes vom zureichenden Grunde (On the Fourfold Root of the Principle of
Sufficient Reason)
o
1816, Über das Sehn und
die Farben (On Vision and Colors)
o
1819 [1818], Die Welt
als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation
o
1836, Über den Willen in der Natur (On
the Will in Nature) 1839,
“Über die Freiheit des menschlichen Willens” (“On Freedom of the Human Will”)
o
1840,
“Über die Grundlage der Moral” (“On the Basis of Morality”)
o
1844, Die Welt als Wille und Vorstellung
(The World as Will and Representation) 1841 [1840], Die beiden Grundprobleme der Ethik (The Two
Fundamental Problems of Ethics)
o
1859, Die Welt als Wille und Vorstellung
(The World as Will and Representation)
Schopenhauer
dikenal dengan sifat pesimisme dan gayanya yang tidak ramah. Ia sangat antipati
kepada Hegel, sampai-sampai ia bersikeras mengadakan perkuliahan di waktu yang
bersamaan saat Hegel memberikan kuliah. Malang bagi Schopenhauer, para
mahasiswa lebih menyenangi kuliah Hegel dibandingkan kuliah yang ia berikan.
Sehingga mahasiswa yang duduk mendengarkan ceramah Schopenhauer bisa dihitung
dengan jari. Ia akhirnya memutuskan berhenti mengajar di universitas karena
popularitas Hegel sangat sulit disaingi kala itu. Untunglah ia seorang yang
kaya, sehingga memilih untuk mencurahkan diri untuk menulis buku. Dalam
buku-bukunya Schopenhauer sering menyinggung tentang “penipu”, yang secara
eksplisit ia sandarkan kepada Hegel.
Tentu menarik, mengetahui apa yang membuat Schopenhauer
begitu teramat benci kepada Hegel? Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins
penulis buku “A Short History of Philosophy” mengatakan, “yang paling dibenci
Schopenhauer pada Hegel adalah optimismenya, perasaannya bahwa umat manusia
sedang maju”.
Sementara Schopenhauer berpendirian bahwa banyak orang,
sebagian besar zaman, benar-benar tertipu. Manusia merasa mengetahui dunia yang
sedang dihadapinya. Padahal banyak misteri-misteri yang tak terungkap dalam
kehidupan ini. Atas dasar pemikiran seperti inilah, Schopenhauer mengagumi
pemikiran-pemikiran Immanuel Kant. Schopenhauer mengatakan bahwa Kant telah
bertindak benar ketika membagi realitas menjadi dunia fenomena dan dunia
noumena.
Tidaklah, seseorang dikatakan sebagai filsuf, ketika
memiliki pemikiran yang sama persis dengan filsuf sebelumnya. Penyandangan
gelar filsuf amat terkait dengan originalitas dan kreativitas berpikir. Oleh
karena itu, Schopenhauer mengatakan filsafatnya sebagai koreksi dan upaya
melengkapi filsafat Kant. Menurutnya, Kant benar dalam membagi realitas menjadi
dua, tapi Kant keliru saat menjelaskan apa yang dimaksud kedua dunia itu.
Untuk dunia fenomenal, ada kesalahan yang dilakukan Kant.
Meskipun Kant mengatakan semua pengetahuan manusia harus diderivasikan dari
pengalaman, dalam kenyataannya Kant malah mengarahkan sebagai besar kerja
investigasinya bukan pada hakikat pengalaman, tapi kepada hakikat berpikir
konseptual. Dalam mengkoreksi kesalahan ini, Schopenhauer kemudian berupaya
mencari jalan keluar dengan melakukan investigasi mengenai bagaimana manusia
manusia menyadari kenyataan mengalami, mengetahui, dan mengomunikasikan
realitas yang spesifik dan unik.
Terkait dengan dunia fenomenal, Schopenhauer menilai
filsafat Kant memiliki dua kekeliruan mendasar. Pertama, Kant memandang dunia
noumena terdiri dari hal-hal dalam-dirinya-sendiri (jamak). Kedua, Kant
menganggap noumena sebagai penyebab dari persepsi manusia.
Bagi Schopenhauer, manusia mendapatkan ide tentang pembedaan
(diferensiasi) jika dilingkupi oleh penerimaan akan konsep ruang dan waktu. Sementara
Kant menunjukkan bahwa ruang dan waktu merupakan bentuk-bentuk sensibilitas
manusia. Jadi, konsep ruang dan waktu tidak akan bisa ada dalam sebuah realitas
tanpa subjek karena dalam realitas itu, semua yang-eksis, eksis
dalam-dirinya-sendiri (Das Ding an sich) yang bersifat independen dari
pengalaman. Oleh karena itu, diferensiasi hanya bisa dilakukan dalam dunia
pengalaman dan tidak bisa dilakukan dalam dunia realitas noumena. Karena itu
pula, tak mungkin ada benda-benda (jamak) dalam-dirinya- sendiri yang
berbeda-beda dan eksis secara indenpenden dari subjek yang mengalaminya.
Pengetahuan pada hakikatnya bersifat dualistis, yaitu
sesuatu yang menjadi isi dari pengetahuan itu dan sesuatu yang mengetahui.
Jadi, jika ada sesuatu yang eksis secara tak terdiferensiasi (tak terbedakan
dari yang lain), maka sesuatu itu tak akan bisa mengenali dirinya sendiri,
karena pengenalan akan diri sendiri mengandaikan pembedaan dengan diri yang
lain.
Schopenhauer memandang bahwa dalam realitas total terdapat
realitas yang bersifat immaterial, tak terdiferensiasi, tak berwaktu, dan tak
beruang, yang terhadapnya manusia tidak akan pernah bisa memiliki pengetahuan
yang bersifat langsung, dan realitas itu memanifestasikan dirinya pada manusia
dalam bentuk dunia fenomenal dari objek-objek materiil (termasuk manusia
sendiri) yang terdiferensiasi dalam ruang dan waktu. Kesimpulan ini sama persis
dengan arus utama agama Hindu dan Budha.
Atas pemikirannya ini, Schopenhauer diduga terpengaruh
dengan tradisi Budha. Namun, jika melihat latar belakangnya sebagai seseorang
yang bukan religius, tidak mempercayai kehidupan setelah mati, bahkan tidak
mempercayai Tuhan atau ruh, maka pendapat yang benar adalah, Schopenhauer
menemukan kesimpulan tersebut melalui argumentasi rasional dalam kerangka
tradisi utama filsafat Barat. Baru setelah ia mengetahui bahwa para pemikir
Hindu dan Budha telah mencapai kesimpulan yang sama dengan Kant dan dirinya
sendiri, ia kemudian mempelajari karya-karya pemikir Hindu dan Budha dengan
antusias dan ketertarikkan yang luar biasa.
Aspek lain yang berseberangan antara Schopenhauer dan Kant
adalah terkait dasar etika. Menurut Schopenhauer, dalam dunia fenomena, manusia
eksis sebagai individu-individu. Manusia eksis sebagai objek-objek materiil
yang menempati ruang dan berada dalam suatu waktu. Diferensiasi sebagai
individu ini hanya bisa diamati dalam dunia fenomena. Sedangkan secara noumena,
tidak mungkin untuk mendiferensiasi diri sendiri. Oleh karena itu, manusia
semuanya pastilah “yang satu”. Jadi, ada sebuah perasaan puncak bahwa jika aku
melukaimu, maka aku melukai diri sendiri. Atas dasar itulah etika dibangun atas
dasar kasih sayang, rasa persaudaraan, perhatian tanpa pamrih yang tumbuh dari
dalam diri manusia itu sendiri, bukan lahir atas dasar rasionalitas sebagaimana
yang disampaikan oleh Immanuel Kant.
Schopenhauer mengatakan, jika manusia memang ingin memahami
hakikat batin, dan signifikansi dunia luar, maka ia harus melakukan investigasi
atas proses yang dijalani atas proses yang dijalani oleh batin dan menelusuri
pengalaman luar dirinya. Schopenhauer berpandangan, penjelasan-penjelasan
hakiki mengenai realitas tidak bisa ditemukan dalam sains. Bukan berarti,
manusia harus meninggalkan sains. Bahkan Schopenhauer mengatakan, dalam upaya
memahami dunia, manusia harus memanfaatkan semaksimal mungkin dan penuh
antusias semua sumber daya sains, tetapi jangan melupakan sumber-sumber selain
sains.
Untuk karena itu, Schopenhauer mengajak pembacanya untuk
memandang seni sebagai instrumen untuk memahami realitas yang tak semata-mata
materiil tapi juga immaterial. Dalam buku catatannya Schopenhauer mengatakan,
“Filsafat telah sejak lama menjalani proses pencariannya secara sia-sia karena
ia memang lebih cendrung mencari dengan cara sains daripada dengan cara seni.”Pengalaman
manusia tidak bisa diartikulasikan dalam bahasa universal yang berbentuk
konsep-konsep. Namun, pengalaman bisa diartikulasikan dalam karya-karya seni.
Terkait pemikiran terkait dengan seni ini, Schopenhauer
dipengaruhi oleh ide-ide Platonis tentang dunia ide dan dunia ini, dimana Plato
berpandangan dunia ini adalah dunia semu dari dunia sebenarnya yang ada di
dunia ide. Atas dasar inilah kemudian, ia membuat hierarkhi seni, yakni:
1.
Seni yang bertemakan tahap pertama
dan terendah dari objektivikasi kehendak, yaitu unsur-unsur anorganik dari alam
(sekumupulan batu besar, tanah, air, dan sebagainya). Seni ini adalah
arsitektur.
2.
Seni yang mengambil tema objek kedua
dari objektivikasi kehendak, seperti bunga-bunga, pohon-pohon, kehidupan
tumbuh-tumbuhan secara umum. Seni ini adalah lukisan.
3.
Seni yang mengambil tema objek
ketiga dari objektivikasi kehendak, yaitu kehidupan binatang yang terkait
dengan bobot tubuh, ukuran, bentuk tubuh, dan gerak-geriknya. Seni ini adalah
seni pahat.
4.
Seni yang mengambil tema
pasang-surut perasaan manusia, perkembangan emosi, karakter, hubungan sosial,
konflik, penciptaan, takdir, dan penyelesaian krisis. Seni ini adalah puisi dan
drama.
Kecendrungan Schopenhauer untuk menelisik misteri batin
manusia membuat ia sampai pada pemikiran bahwa manusia itu tetap eksis karena
adanya kehendak untuk hidup (will of life). Semakin manusia menyelidiki
berbagai perasaan dan emosinya, maka ia akan semakin melihat bahwa semua itu
merupakan modifikasi dari kehendak. Schopenhauer tidak mengklaim pandangan ini
original dari dirinya. Tapi sebenarnya sudah direnungkan oleh para pemikir
hebat sejak St. Augustinus. Dalam “The City of God”, Augustinus mengatakan,
“Kehendak
ada dalam semua perasaan ini; bahkan, perasaan-perasaan itu tak lain adalah
kecendrungan-kecendrungan sang kehendak. Oleh karena itu, apakah sesungguhnya
hasrat dan kegembiraan itu jika bukan kehendak yang mencapai keharmonisan
dengan hal-hal yang kita hasratkan? Dan apakah rasa takut dan sedih itu jika
bukan kehendak yang tengah berada dalam keadaan tidak selaras dengan hal-hal
yang tidak kita sukai.”
Atas inspirasi dari St. Augustinus inilah Schopenhauer
berpandangan bahwa intelek sebagai pelayan, bukan tuan bagi kehendak, dan
dengan begitu, segenap kehidupan batin manusia terdiri atas, atau didominasi
oleh kehendak dalam berbagai manifestasinya. Melangkah lebih jauh. Schopenhauer
mencoba terus menelusuri tesis kehendak ini pada realitas fenomena dan noumena.
Bagi Schopenhauer, pikiran adalah sesuatu yang merujuk
kepada sebuah subkelas kecil dari benda-benda objektif. Pikiran lebih terkait
dengan yang materiil daripada dengan yang noumenal, dan pikiran muncul sebagai
aktivitas ataupun sebagai epifenomena dari materi. Semua pikiran yang diketahui
manusia adalah pembayangan dari objek-objek materiil. Dunia noumenal sebagai
sumber manifestasi dunia fenomenal digerakkan oleh dorongan metafisis yang
bersifat primitif dan memanifestasikan dirinya dalam eksistensi dengan sebutan
“kehendak”. Kehendak di sini tidak sama dengan kehendak manusia berkaitan
dengan kesadaran diri. Kehendak yang bersifat metafisis ini (metaphysical will)
tak ada hubungannya dengan tujuan-tujuan, keinginan-keinginan, atau
maksud-maksud. Kehendak ini berkonotasi pada sesuatu yang bukan saja mendahului
kehidupan, melainkan juga mendahului materi. Kehendak metafisis ini merupakan
sebuah daya yang buta, nonmaterial, nonpersonal, dan nonbernyawa.
Alam semesta merupakan kehendak yang bersifat metafisis ini.
Kehendak mengada dan bertahan hidup yang dimiliki oleh manusia bukanlah
kehendak noumenal dalam dirinya sendiri, tetapi manifestasi dari kehendak
noumenal itu dalam dunia fenomena. Oleh karena itu, dia bisa menjadi objek dari
pengetahuan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar