Selasa, 08 November 2016

Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern



Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern
        Pada Era Filsafat Modern, Terdapat terdapat Aliran-aliran pokok. diantaranya :
Rasionalisme
Usaha kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia. Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya adalah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh yang membedakannya dari pengetahuan yang palsu?. Salah satu usaha radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode yang dikenal nama metode rasional.
Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah lama merenung ia munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti. alam hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.
Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan, Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.
Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu sendiri. Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara objektif. Oleh karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena tidak dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang cenderung mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil yang bekerja menurut hukum mekanik. Dengan demikian tubuh manusia, sebagai alam materi, seperti mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri meskipun lepas dari pembuatannya.
Secara demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi realitas material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya. Tuhan berlaku sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan alam seperti seorang menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan dengan pencipta-Nya. Hubungan pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku sebagai hubungan pertama.
Epistemologi rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta, selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin. Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal budi manusia yang sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.
Selain Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza (1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tertap mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara alam dengan Tuhan.

Empirisme
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan. Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding (1690)”. John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.
Menurut John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi.  Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru, karenanya harus ditolak.
Bagi Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain – lain. ide yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.
Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

Kritisme
Skeptisme yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah pengakuannya Kant menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya. Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.
Kant merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakekat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia. Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena.
Pengetahuan adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori. Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya kedata-data inderawi.
Berpikir menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang membuat keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama. Fakultas pencerapan menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan waktu, sedangkan fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima pencerapan, melalui kategori-kategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan. Kategori yang dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas.
Karena bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan suatu keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda sebagaimana ia nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual, tetapi Ia tidak dapat sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant berpendapat bahwa pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui kategori-kategori, manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek sebagaimana adanya hingga fakta dapat dipahami. Dengan demikian pengetahuan bersifat obyektif karena benak manusia mampu memahaminya secara benar melalui kategori-kategori yang bersifat pasti.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan perasaan.
Ciri pokok filsafat modern adalah:
1. pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral.
  1. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense.
  2. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata.
  3. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
  4. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati.
Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar