Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat
Modern
Pada Era Filsafat Modern, Terdapat terdapat Aliran-aliran pokok. diantaranya :
Rasionalisme
Usaha kritis dalam filsafat adalah
untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia. Hal ini di pandang sebagai
usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam
keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya adalah menemukan norma untuk
melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh yang
membedakannya dari pengetahuan yang palsu?. Salah satu usaha radikal dan cerdik
untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode yang dikenal nama metode
rasional.
Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori
oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai
bapak filsafat modern. Setelah lama merenung ia munculkan untuk menghidupkan
kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Ia
melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku
ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk
tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti. alam
hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari
skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan
metodis universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu
cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah
dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.
Menurut Decartes observasi melalui
penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekwensinya manusiapun kadang
melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia “membuang” semua
dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan, Kita
harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut
tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman
dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita
sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya
dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.
Bagi Descartes dunia yang nampak
oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan
pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya
sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu
sendiri. Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu
yang melakukan tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan
sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran
yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah
cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang
menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan.
Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah
yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam
jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua
obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu
memahami kebenaran secara objektif. Oleh karena itu rasionalisme Descartes
memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes mengajukan tiga jenis
subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan adalah subtansi utama
yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran
ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena tidak dapat dibagi. Sedangkan
dunia luar atau badan adalah materi yang cenderung mengalami perluasan
(ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya dapat dipecah menjadi
bagian-bagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil
yang bekerja menurut hukum mekanik. Dengan demikian tubuh manusia, sebagai alam
materi, seperti mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri meskipun
lepas dari pembuatannya.
Secara demikian Descartes, sebagai
tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa alam materi hanya dapat
dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi realitas material menjadi
bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya. Tuhan berlaku sebagai
penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan alam seperti seorang
menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan dengan pencipta-Nya. Hubungan
pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku sebagai hubungan pertama.
Epistemologi rasionalitas-Cartesian
jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam
metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi,
sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik
berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta,
selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T Gallagher
menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain sisi
menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan kemajuan
pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang merasuki
sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin. Pada realitas ini,
Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal budi manusia yang sangat
rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.
Selain Descartes, rasionalisme abad
17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza (1632-1677), Lebnis
(1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tertap mempertahankan
eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara alam dengan
Tuhan.
Empirisme
Empirisme pertama kali diperkenalkan
oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia
bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak
memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan
hal-hal yang baru bagi kehidupan. Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme
ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan
dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding (1690)”. John Locke
memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula
rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan
dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber
pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi
serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak
percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.
Menurut John Locke ide dalam benak
manusia didapatkan melalui pengalaman atau aposteriori. Ide manusia lalu
terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana didapatkan
melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah
refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi. Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak
kembali pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi
pengetahuan yang keliru, karenanya harus ditolak.
Bagi Locke persepsi manusia dapat
membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas primer dan kualitas
sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda itu sendiri,
seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain – lain. ide
yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat,
kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran
pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya
nilai pada indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain
kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas
sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan
persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja
meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itu ide yang muncul
dari kualitas sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka
pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena
berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan melalui eksistensi
diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya
tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu.
Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari
eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut Tuhan.
Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam
kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena itu
meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide tersebut sangatlah
samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat
dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun
dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.
Filsuf empirisme lainnya adalah
Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (a bundle or
collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja
lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya,
menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap
substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap
hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab
dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal
kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia
memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan
kumpulan persepsi saja.
Kritisme
Skeptisme yang dibangun oleh Hume
secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis asal jerman bernama
Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah pengakuannya Kant menyataklan bahwa
Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya.
Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang
mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan
tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap emperisme
membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran
pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi
syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik
pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan demikian
pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.
Kant merupanya menggabungkan
empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis antara keduanya. Dalam
pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya dengan nalar dan
observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakekat dunia, tetapi
tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia. Pengakuan keterbatasan
ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha untuk meninjau
batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas memiliki
hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang
pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada
kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia,
yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki
refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan dapat
diketahui manusia sebagai fenomena.
Pengetahuan adalah tidak lebih dari
sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan apriori dan pengetahuan
apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai
keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang
menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak
memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan
jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya
pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena
indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena
itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang
bersifat opriori. Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat
fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya
kedata-data inderawi.
Berpikir menurut Khan tidak hanya
menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan tentang apa yang kita
alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak; pertama,
fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang membuat keputusan
pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama. Fakultas pencerapan
menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan waktu, sedangkan
fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima pencerapan, melalui
kategori-kategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan. Kategori yang
dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas.
Karena bentuk-bentuk intelektual ini
adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan pasti. Kategori-kategori
tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan suatu keputusan tentang
obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda sebagaimana ia nampak
sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual, tetapi Ia tidak dapat
sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant berpendapat bahwa
pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena penampakan obyek indera
menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan pengetahuan ilmiah. Dengan
mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui kategori-kategori, manusia
akan mengetahui secara akurat mengenai obyek sebagaimana adanya hingga fakta
dapat dipahami. Dengan demikian pengetahuan bersifat obyektif karena benak
manusia mampu memahaminya secara benar melalui kategori-kategori yang bersifat
pasti.
Pemikiran yang dikembangkan oleh
Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara dunia materi dan dunia
metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap
fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat
dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin memahami
Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan
perasaan.
Ciri pokok filsafat modern adalah:
1. pertama, bebas nilai,
subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap
imparsial-netral.
- Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense.
- Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata.
- Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
- Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar