Aliran-aliran Pokok Pada Filsafat
Kontemporer
Terdapat beberapa aliran-aliran pokok dalam filsafat kontemporer, adalah
sebagai berikut:
1.
Eksistensialisme
Eksistensi berasal dari kata ex yang berarti keluar dan
sister berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat
diartikan sebagai berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat
eksistensialisme tidak sama dengan eksistensi tetapi ada kesepakatan diantara
keduanya yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema pokok.
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat
yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa filsafat
pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani,
khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah
penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu
kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap
filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan,
juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia
terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat
hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat
yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar,
tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji
cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat
renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat
cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur
berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan
belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang
manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh
dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan
dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang
berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam
lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan
budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu
dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi
seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan
sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang
unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat
sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya
dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme:
1)
Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia
bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak
dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup
saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan
apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2)
Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang
mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia
harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan
mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena
dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya
sendiri.
3)
Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada
dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan
dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya
sendiri.
4)
Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara
keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu
dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia,
baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang
berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan
mereka.
5)
Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar
dan bebas bagi diri sendiri.
2.
Fenomonologi
Edmun Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat
fenomenologi. Ia adalah seorang filosof dan matematikus mengenai
intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan
pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui
argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den sachen selbst”-
kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang
dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek
memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari objek
itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu
kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita
memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomen atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala
semu atau lawan bendanya sendiri (penampakan). Menurut para pengikut
fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera,
sebab fenomen dapat juga di lihat secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk
sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat fenomenologi,
fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang
menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran
atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal
yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at
things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan
objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti
dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut
konstitusi.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian
yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk
mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu
metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai
pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan
bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri.
Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat
pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha
menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.
Membebaskan diri dari anasir atau
unsur subjektif,
b.
Membebaskan diri dari kungkungan
teori, dan hipotesis, serta
c.
Membebaskan diri dari
doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama,
yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi
fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna
sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi
eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti
atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi
tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan
pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha
mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller
(1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).
3.
Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna.
Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai
yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya,
berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa
kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan
bermanfaat bagi kehidupan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal
saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis
semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat
yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah
“manfaat bagi hidup praktis”
William James (1842-1910 M), mengemukakan, bahwa tiada
kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kia berjalan terus,
dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa
berubah, karena di dalam prakteknya apa yang benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya. Menurutnya, pengertian atau putusan itu benar, jika pada
praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru.
John Dewey (1859-1952 M), menyatakan bahwa, manusia itu
bergerak dalam kesunguhan yang selalu berubah. Jika Ia sedang menghadapi
kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Jadi,
berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari
pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat sangat jelas bahwa filsafat memberi
pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus
bertitik tolak pada pada pengalaman, penyelidikan, dan mengolah pengalaman
secara aktif dan kritis.
4.
Sosialisme-Komunisme (Marxisme)
Teori Marxist dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea
dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki
kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem
dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain
perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu
kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum
buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini
golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu
diadakan sebuah evolusi secara drastis.
Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis,
perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah
pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang
mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang
sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang
diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari. Marx melihat
kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara
para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas
sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering
diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan
hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem,
penghapusan kelas sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar