Filsafat
Kontemporer
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa
dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke
waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan
ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai
periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman
pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Zaman klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad
ke-6 SM dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius
sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman modern
didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance. Pada filsafat Rene Descartes
(1596-1650) dan berakhir pada pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan
zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.
“There is No Perfectness in the
World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan perlu untuk mengawali
pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikiran
filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan
kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di sisi yang lain.
Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada
sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut
Fisafat Kontemporer.
Segi kekurangan tersebut bisa diperlihatkan dengan banyaknya
filosof dan pemikirannya yang gagal mencapai kebijaksanaan sebagai inti
diskursus filsafat. Kegagalan tersebut disebabkan atas dua alasan. Yang
pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai
kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah
(desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh
intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Disebabkan karena tuntutan logis atau rasionalitas, filsafat
mengalami beberapa penggeseran yang khas. Penggeseran pertama, adalah dari
paradigma yang kosmosentris lewat paradigma teosentris ke paradigma
antroposentris. Wawasan kosmosentris adalah paradigma filsafat Yunani yang
berarti kosmos atau alam raya, berada di pusat perhatian para filosof. Lewat
paradigma teosentris dalam filsafat Islam dan Kristiani abad pertengahan, Allah
ada di pusat perhatian, segala-galanya mau dilihat seakan-akan dari sudut
pandang Allah. Dalam paradigma antroposentris manusia menempati center court.
Paradigma antroposentris itu muncul dengan terang benderang di panggung
filsafat dalam abad ke-17.
Penggeseran yang lain, adalah dari filsafat
substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa? Dan apa yang ada itu apa?”,
filsafat ini membahas tentang masalah-masalah seperti hakikat alam, Allah, dan
manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis yang bertanya tentang: “Apa yang
dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke filsafat kritis yang mau
membebaskan.
Namum dalam faktanya, pedoman para filosof kepada rasio dan
menghindari intuisi mengalami pengalaman buruk sebagaimana yang telah
dijelaskan pada beberapa buku sejarah filsafat Barat. Gejala postmodernisme
yang menginterupsi keabsolutan rasio merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan
rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir
tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah rasio dan indra saja. Selanjutnya akan
disimpulkan secara singkat urutan beberapa perkembangan filsafat pada abad
setelahnya.
Pada abad ke-20 kita dapat menyaksikan empat aliran besar
dalam filsafat. Pertama, filsafat fenomenologis dan eksistensialisme dengan
tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger, dan Sartre, filsafat ini merupakan aliran
yang paling subur di Eropa kontinental terutama di Jerman dan Prancis. Aliran
kedua, meskipun bermula dari “Lingkaran Wiena”, Austria, menjadi filsafat yang
dominan untuk waktu yang lama di wilayah Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan
Amerika Utara, itulah filsafat analitis dan bahasa, dengan tokohnya Ludwig
Wittgenstein, di mana aliran yang paling terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran
ketiga bertitik berat di Jerman dan Prancis, yaitu filsafat kritis yang
memahami pemikiran filosofis sebagai praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori
Kritis Horkheimer dan Adorno kemudian Habermas, serta segala filsafat yang
mendapat inspirasi dasar dari pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori
keadilan John Rawls. Aliran keempat yang sangat tidak homogen adalah medan
pemikiran postmodernistik yang terutama dikembangkan di Prancis, dengan
tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan
Komunitarisme (yang dengan sendirinya menolak dimasukkan ke dalam
postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak segala usaha untuk memahami
seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui satu pola teoretis. Pemahaman
satu pola itu memaksa dan menjadi sarana penindasan dalam realitas. Di samping
empat aliran besar tersebut, tentu masih ada sekian banyak aliran lain, teutama
Neo-Thomisme dan banyak filosof yang tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam
salah satu dari aliran itu.
Mengenai beberapa aliran filsafat yang
berkembang di Barat, menurut sumber yang lain, dinyatakan bahwa pada abad ke-17
dan ke-18 sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang
bertahan lama dalam wilayah-wilayah luas, rasionalisme, empirisme, dan
idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad ke-19 dan 20
kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru bermunculan, dan yang menarik
aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu negara atau satu lingkungan
bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah
positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar