Selasa, 08 November 2016

Karakteristik Pada Filsafat Periode Modern



Karakteristik Pada Filsafat Periode Modern

Reneisance Eropa yang mengantar babak modern, memicu berkembangnya filsafat yang bercorak empirik. Akibatnya metodologipun berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokoh-tokoh yang membuka jalan ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo, Isac Newton, dan lain sebagainya.
Lahirnya metodologi baru pada era ini akibat terjadinya pergeseran paradigma filsafat. Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran, tolak ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen terhadap realitas fisik melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah. Efek metode ini melahirkan teori holosentris (Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme dengan fisika langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai benda yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif (profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang menganut paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika universal. Kebebasan dan kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak gereja yang merasa otoritasnya terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan suram dengan menghukum mereka bahkan membunuhnya.
Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa Reneisans menjadikan filsafat, terutama epistemologi rasional-intuitif, mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi ekstrim dengan memutuskan kemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan perisai kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis. Di sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh utamanya telah membangkitkan semangat empirisme rasional-materialistik dibidang astronomi, biologi, psikologi, sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani mengatakan bahwa teori astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis tentang peran Tuhan untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu juga Darwin yang menafikan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang berjalan sendiri melalui prinsip mekanika hukum evolusi yaitu seleksi alamiah. Demikian juga dengan Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi fenomena yang ada diluar dirinya. Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik yang terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada metafisika atau Tuhan. Menurutnya, yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat mampu mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.
Kemudian tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama adalah candu, konsep surga dan kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga mereka tetap menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar. Agama tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari traumatisasi masyarakat Eropa terhadap agama yang kemudian mencari penenangnya pada ilmu pengetahuan yang berubah makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial dengan menjadikan eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis metodologis.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
Peradaban Eropa modern terbentang mulai dari abad -15 hingga abad ke-19 dengan watak pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima perbedaan antara periode modern dibanding periode pertengahan.
1.  Pertama, berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
  1. Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.
  2. Ketiga, jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science).
  3. Keempat, jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
  4. Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.
Berman mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas dari abad ke-13 hingga abad ke-18.
1. Pertama, pengalaman kehidupan modern.
2. Kedua, revolusi Prancis dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu yang berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790.
3. Ketiga, kemudian terjadi peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang lebih mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang berdampak munculnya bentuk pengalaman baru.
Berman menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat struktur masyarakat Eropa modern di bangun dari beberapa momen perubahan sosial politik yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18 Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi juga berhubungan dengan industrialisasi. Ia petunjuk jalan untuk memperlihatkan kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam artian luas, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan usaha manusia untuk mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan berbagai eksprimen mengelola alam.
Ciri pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan rasionalisme dan empirisme.  Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme, postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmoderen hingga teori kritis mazhab Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras – paradigmatik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar