Karakteristik Pada Filsafat Periode Modern
Reneisance Eropa yang mengantar babak modern, memicu
berkembangnya filsafat yang bercorak empirik. Akibatnya metodologipun
berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokoh-tokoh yang membuka jalan ke gerbang
ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo, Isac Newton, dan lain
sebagainya.
Lahirnya metodologi baru pada era ini akibat terjadinya
pergeseran paradigma filsafat. Manusia melihat, merasakan dan menyadari adanya
potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran, tolak ukur dan validitasnya
lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen terhadap realitas fisik melahirkan
cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah. Efek metode ini melahirkan teori holosentris
(Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme dengan fisika
langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai benda
yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif
(profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang
menganut paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika universal.
Kebebasan dan kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak gereja yang
merasa otoritasnya terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan suram dengan
menghukum mereka bahkan membunuhnya.
Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang diraih pada masa
Reneisans menjadikan filsafat, terutama epistemologi rasional-intuitif,
mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi ekstrim dengan memutuskan
kemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan perisai kalbu dan
keimanan. Sesuatu yang sangat apologis. Di sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu
alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh utamanya telah membangkitkan semangat
empirisme rasional-materialistik dibidang astronomi, biologi, psikologi,
sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani mengatakan bahwa teori
astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis tentang peran Tuhan
untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu juga Darwin yang menafikan
keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang berjalan sendiri melalui
prinsip mekanika hukum evolusi yaitu seleksi alamiah. Demikian juga dengan
Freud yang memandang konsep Tuhan bagi orang-orang beragama sebagai ide ilusif
karena berasal dari imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi
fenomena yang ada diluar dirinya. Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan supranatural
atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik yang
terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada metafisika
atau Tuhan. Menurutnya, yang lebih pantas disebut sebagai Tuhan adalah
masyarakat, karena masyarakat mampu mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai
sifat-sifat Tuhan.
Kemudian tak ketinggalan pula Karl Marx mengatakan agama
adalah candu, konsep surga dan kerajaan Tuhan di akhirat adalah refleksi
penderitaan kaum proletar sebagai manuver kaum borjuis untuk menyembunyikan
realitas sosial yang sebenarnya, agar kedudukan mereka sebagai tuan tanah tetap
kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga mereka tetap menguasai roda
ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar. Agama tidak lain dari
konstruk borjuis bukan berasal dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari
traumatisasi masyarakat Eropa terhadap agama yang kemudian mencari penenangnya
pada ilmu pengetahuan yang berubah makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan
ilmu sosial dengan menjadikan eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis
metodologis.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan bahwa zaman modern ini
telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa
dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia
yang sempurna. Optimisme Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara
berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan filsafat modern yang
menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya
berjalan dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang
ditandai dengan lahirnya aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme,
relativisme, dan realisme. Namun, di samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan
itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang
mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu
kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
Peradaban Eropa modern terbentang mulai dari abad -15 hingga
abad ke-19 dengan watak pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand
Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai, mengemukakan lima perbedaan
antara periode modern dibanding periode pertengahan.
1. Pertama,
berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
- Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.
- Ketiga, jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science).
- Keempat, jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
- Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.
Berman
mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas
dari abad ke-13 hingga abad ke-18.
1. Pertama, pengalaman kehidupan modern.
2. Kedua, revolusi Prancis dan munculnya pergolakan
sosial, politik, serta kehidupan individu yang berkenaan dengan gelombang
revolusi besar pada 1790.
3. Ketiga, kemudian terjadi peleburan proses
modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang lebih mempercepat
perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang berdampak munculnya
bentuk pengalaman baru.
Berman menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik
yang terjadi. Dia melihat struktur masyarakat Eropa modern di bangun dari
beberapa momen perubahan sosial politik yang melanda Eropa dari rentang waktu
abad 13 Masehi hingga abad 18 Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai
bagian dari dampak dinamis prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi juga berhubungan dengan industrialisasi. Ia
petunjuk jalan untuk memperlihatkan kunci bagi modernitasi dalam mengubah
kesadaran masyarakat. Dalam artian luas, modernisasi dapat dipahami sebagai
sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran sebagai kekuatan dalam dirinya.
Dengan demikian, era modern ditandai dengan usaha manusia untuk mengoptimalkan
potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan berbagai eksprimen
mengelola alam.
Ciri pengetahuan modern tidak terlepas dari dua
aliran besar pemikiran yang dikenal dengan rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik
epistemologi Barat yang memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal
kritisme, fenomenologi, positivisme, postpositivisme, strukturalisme,
postrukturalisme, posmoderen hingga teori kritis mazhab Frankfurt. Ragam
kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala
renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras – paradigmatik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar