Selasa, 08 November 2016

Aliran-aliran Pokok Filsafat Kontemporer



Aliran-aliran Pokok Pada Filsafat Kontemporer

Terdapat beberapa aliran-aliran pokok dalam filsafat kontemporer, adalah sebagai berikut:
1.      Eksistensialisme
Eksistensi berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sister berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan eksistensi tetapi ada kesepakatan diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema pokok.
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme:
1)      Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2)      Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3)      Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
4)      Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5)      Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

2.      Fenomonologi
Edmun Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomen atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut konstitusi.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.         Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b.        Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c.         Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).

3.      Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”
William James (1842-1910 M), mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kia berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Menurutnya, pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru.
John Dewey (1859-1952 M), menyatakan bahwa, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang selalu berubah. Jika Ia sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman, penyelidikan, dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis.

4.      Sosialisme-Komunisme (Marxisme)
Teori Marxist dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.
Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.

Filsafat Kontemporer



Filsafat Kontemporer
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Zaman klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman modern didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance. Pada filsafat Rene Descartes (1596-1650) dan berakhir pada pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.
“There is No Perfectness in the World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan perlu untuk mengawali pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikiran filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di sisi yang lain. Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.
Segi kekurangan tersebut bisa diperlihatkan dengan banyaknya filosof dan pemikirannya yang gagal mencapai kebijaksanaan sebagai inti diskursus filsafat. Kegagalan tersebut disebabkan atas dua alasan. Yang pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Disebabkan karena tuntutan logis atau rasionalitas, filsafat mengalami beberapa penggeseran yang khas. Penggeseran pertama, adalah dari paradigma yang kosmosentris lewat paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Wawasan kosmosentris adalah paradigma filsafat Yunani yang berarti kosmos atau alam raya, berada di pusat perhatian para filosof. Lewat paradigma teosentris dalam filsafat Islam dan Kristiani abad pertengahan, Allah ada di pusat perhatian, segala-galanya mau dilihat seakan-akan dari sudut pandang Allah. Dalam paradigma antroposentris manusia menempati center court. Paradigma antroposentris itu muncul dengan terang benderang di panggung filsafat dalam abad ke-17.
Penggeseran yang lain, adalah dari filsafat substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa? Dan apa yang ada itu apa?”, filsafat ini membahas tentang masalah-masalah seperti hakikat alam, Allah, dan manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis yang bertanya tentang: “Apa yang dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke filsafat kritis yang mau membebaskan.
Namum dalam faktanya, pedoman para filosof kepada rasio dan menghindari intuisi mengalami pengalaman buruk sebagaimana yang telah dijelaskan pada beberapa buku sejarah filsafat Barat. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan rasio merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah rasio dan indra saja. Selanjutnya akan disimpulkan secara singkat urutan beberapa perkembangan filsafat pada abad setelahnya.
Pada abad ke-20 kita dapat menyaksikan empat aliran besar dalam filsafat. Pertama, filsafat fenomenologis dan eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger, dan Sartre, filsafat ini merupakan aliran yang paling subur di Eropa kontinental terutama di Jerman dan Prancis. Aliran kedua, meskipun bermula dari “Lingkaran Wiena”, Austria, menjadi filsafat yang dominan untuk waktu yang lama di wilayah Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan Amerika Utara, itulah filsafat analitis dan bahasa, dengan tokohnya Ludwig Wittgenstein, di mana aliran yang paling terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran ketiga bertitik berat di Jerman dan Prancis, yaitu filsafat kritis yang memahami pemikiran filosofis sebagai praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori Kritis Horkheimer dan Adorno kemudian Habermas, serta segala filsafat yang mendapat inspirasi dasar dari pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori keadilan John Rawls. Aliran keempat yang sangat tidak homogen adalah medan pemikiran postmodernistik yang terutama dikembangkan di Prancis, dengan tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan Komunitarisme (yang dengan sendirinya menolak dimasukkan ke dalam postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak segala usaha untuk memahami seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui satu pola teoretis. Pemahaman satu pola itu memaksa dan menjadi sarana penindasan dalam realitas. Di samping empat aliran besar tersebut, tentu masih ada sekian banyak aliran lain, teutama Neo-Thomisme dan banyak filosof yang tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam salah satu dari aliran itu.
                    Mengenai beberapa aliran filsafat yang berkembang di Barat, menurut sumber yang lain, dinyatakan bahwa pada abad ke-17 dan ke-18 sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang bertahan lama dalam wilayah-wilayah luas, rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad ke-19 dan 20 kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru bermunculan, dan yang menarik aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lainnya.

Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern



Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern
        Pada Era Filsafat Modern, Terdapat terdapat Aliran-aliran pokok. diantaranya :
Rasionalisme
Usaha kritis dalam filsafat adalah untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia. Hal ini di pandang sebagai usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya adalah menemukan norma untuk melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh yang membedakannya dari pengetahuan yang palsu?. Salah satu usaha radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode yang dikenal nama metode rasional.
Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai bapak filsafat modern. Setelah lama merenung ia munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar pada idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak semua yang tidak pasti. alam hal, Kennet T Gallagher menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari skeptisme absolut dimana Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan adalah dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.
Menurut Decartes observasi melalui penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekwensinya manusiapun kadang melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia “membuang” semua dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan, Kita harus mengakui benda-benda jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut tidak persis sama seperti yang saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.
Bagi Descartes dunia yang nampak oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu sendiri. Ketika segalanya nampak meragukan, tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan tindakan meragu, yaitu “aku” yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas (clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini, clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah aksistensi yang jelas dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah, letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi ini manusia mampu memahami kebenaran secara objektif. Oleh karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes mengajukan tiga jenis subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan adalah subtansi utama yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena tidak dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang cenderung mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang, karenanya dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Alam atau materi adalah kumpulan dari bagian-bagian kecil yang bekerja menurut hukum mekanik. Dengan demikian tubuh manusia, sebagai alam materi, seperti mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri meskipun lepas dari pembuatannya.
Secara demikian Descartes, sebagai tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa alam materi hanya dapat dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi realitas material menjadi bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya. Tuhan berlaku sebagai penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan alam seperti seorang menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan dengan pencipta-Nya. Hubungan pencipta dengan yang diciptakan hanyalah berlaku sebagai hubungan pertama.
Epistemologi rasionalitas-Cartesian jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi, sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta, selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan. Mengenai hal ini Kennet T Gallagher menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain sisi menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan kemajuan pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang merasuki sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin. Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal budi manusia yang sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.
Selain Descartes, rasionalisme abad 17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza (1632-1677), Lebnis (1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis tertap mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan radikal antara alam dengan Tuhan.

Empirisme
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan hal-hal yang baru bagi kehidupan. Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding (1690)”. John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin.
Menurut John Locke ide dalam benak manusia didapatkan melalui pengalaman atau aposteriori. Ide manusia lalu terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana didapatkan melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi.  Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan yang keliru, karenanya harus ditolak.
Bagi Locke persepsi manusia dapat membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas primer dan kualitas sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda itu sendiri, seperti; kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain – lain. ide yang timbul dari kualitas primer merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian esensial dalam kerakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara, yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan realitas sejati dan mungkin saja meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia tentang Tuhan dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau eksistensi abadi dan inilah yang disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan manusia mengenai eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas sekunder mungkin saja keliru. Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide tentang Tuhan namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti, karena berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara akurat meskipun dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak berbeda dari mesin.
Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (a bundle or collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

Kritisme
Skeptisme yang dibangun oleh Hume secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis asal jerman bernama Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah pengakuannya Kant menyataklan bahwa Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya. Mulanya Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempegaruhinya. Namun Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya dengan begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.
Kant merupanya menggabungkan empirisme dan rasioaliosme dengan mencari sintesis antara keduanya. Dalam pandangan Kant, manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya dengan nalar dan observasi. Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakekat dunia, tetapi tidak berarti dunia tidak dapat dipahami oleh manusia. Pengakuan keterbatasan ini dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha untuk meninjau batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas memiliki hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia, yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki refleksi empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan dapat diketahui manusia sebagai fenomena.
Pengetahuan adalah tidak lebih dari sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan apriori dan pengetahuan apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang bersifat opriori. Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya kedata-data inderawi.
Berpikir menurut Khan tidak hanya menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan tentang apa yang kita alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak; pertama, fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang membuat keputusan pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama. Fakultas pencerapan menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan waktu, sedangkan fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima pencerapan, melalui kategori-kategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan. Kategori yang dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas.
Karena bentuk-bentuk intelektual ini adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan pasti. Kategori-kategori tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan suatu keputusan tentang obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda sebagaimana ia nampak sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual, tetapi Ia tidak dapat sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant berpendapat bahwa pengetahuan tidak perlu melampaui pengalaman, karena penampakan obyek indera menjadi wilayah obyektif yang akan menyatakan pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui keteraturan pada dunia eksternal melalui kategori-kategori, manusia akan mengetahui secara akurat mengenai obyek sebagaimana adanya hingga fakta dapat dipahami. Dengan demikian pengetahuan bersifat obyektif karena benak manusia mampu memahaminya secara benar melalui kategori-kategori yang bersifat pasti.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara dunia materi dan dunia metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin memahami Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan perasaan.
Ciri pokok filsafat modern adalah:
1. pertama, bebas nilai, subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral.
  1. Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense.
  2. Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata.
  3. Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
  4. Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati.
Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.