Aliran Pemikiran Filsafat
Kontemporer Barat dan Timur Tengah
Pada era “modern”—dilewati bangsa
Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup
dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan
sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh
yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa
aliran pemikiran yang dominan yang semarak.
Pertama, tipologi
strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat
sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu
kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen)
akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat
dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural
fenomena ini, baik cirri differensial
ataupun relasional.
Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.
Selanjutnya, bapak psikoanalis,
Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan
hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat
frued hanya sebagai ateis, materialis.
Selain para pemikir di atas, masih
dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre
Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.)
Tipologi kedua, Post-Strukturalisme.
Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai
segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang
bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder.
Ketidakpuasan akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa
(misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya
pemikiran ini.
Tipologi ini diwakili oleh Nietzche
(1844-1900 M.), prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan
mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis.
Selanjutnya adalah Michel Foucault
(1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang
pada masanya.
Tipologi ketiga, post-marxisme.
Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan
karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda.
Mereka menggunakan Marx untuk untuk
mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya di tujukan kepada
‘kapitalisme modern’.
Para filsuf yang mempunyai
kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt,
Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.
Aliran
Pemikiran Filsafat Kontemporer Islam.
Filsafat di dunia Islam merupakan
benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat
disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap
atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut
al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya
Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini,
filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, sebagai akibat
dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim, al-Hallaj,
dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia ternama.
Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung kurang
lebih dua abad.
Islam terbangun dengan infasi
Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri
independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai
representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti
luar-dalam. Datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran Arab-Islam.
Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.
Gerak radikal pemikiran barat yang
menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan
berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh
dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia
Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan
cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari
stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan
telah menjadi Tuhan.
Ideologi
yang digambarkan oleh al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami
secara literal dan melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran
Barat. Angan mitologis atau mistisisme yang telah menghantui
modernisme Islam sudah selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif
sebagai jembatan pembaharuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar